Halaman

Selasa, 15 Mei 2012

Mendidik Anak Tanpa Kekerasan

MENDIDIK DENGAN TANPA KEKERASAN


* Matius 11:28-30
11:28 Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
11:29 Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.


Kita semua tentu setuju bahwa anak-anak adalah karunia berharga dari Tuhan. Sebagai orang-tua kita diberi mandat untuk membentuk karakter anak bertumbuh menjadi manusia yang berguna bagi kemuliaan Tuhan. Mendidik anak tidak mengenal batas waktu, dimulai sejak anak kita lahir. Mendidik anak-anak dimulai dengan membentuk karakter dan moral mereka. Kita mengajari mereka disiplin dan membiasakan mereka ber-etiket, yang dimulai dari hal-hal yang sederhana : Mengucapkan terima kasih, meminta maaf dan membiasakan mereka menyapa orang dengan kata-kata salam dan tersenyum manis.

Khusus menerapkan suatu disiplin, sebagai orang tua ketika mendidik anak-anaknya perlu sikap ketegasan, tetapi ketegasan ini tidak selalu bersifat kekerasan. Banyak orang menganggap bahwa cara untuk mendisiplin seorang anak adalah dengan menggunakan rotan atau dengan kata-kata yang keras. Tetapi kata-kata keras sering mempunyai konotasi kasar. Mungkin hal itu bisa berhasil, tapi cara disiplin seperti itu bisa menimbulkan luka batin di hati anak-anak kita. Akibatnya bukan rasa disiplin yang tumbuh dalam diri mereka tetapi hanya rasa takut (takut dipukul, takut diomelin, dsb), hal demikian mungkin bisa menimbulkan jiwa pembrontakan atau gangguan emosi lainnya yang ditumpahkan ketika mereka merasa cukup kuat untuk memberontak. Rasul Paulus mengajarkan bahwa para orang tua perlu sekali untuk menjaga hati anak-anaknya nya demikian : "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan" (Efesus 6:4).

Tetapi bagaimana dengan tinjauan ayat lain di Alkitab? bukankah ada tertulis "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." (Amsal 13:24). Memang seolah-olah ayat tersebut memberikan "licence memukul" untuk mendidik anak. Tetapi dengan referensi Alkitab pula kita diberitahu bahwa tongkat tidak selalu berarti tongkat. Bahwa tongkat ini bukan hanya berbicara tentang sepotong kayu saja. Contohnya : Tongkat Musa adalah tongkat gembala; kemanapun Musa berjalan selalu ada tongkat di tangan, apalagi mengingat Musa adalah seorang gembala domba. Sebagai pemimpin bangsa Israel Musa berjalan dengan tongkat sebagai lambang hadirnya kuasa Allah. Dan seringkali kita melihat dalam dunia militer, seorang komandan berjalan dengan tongkat sebagai tanda adanya suatu kuasa di pundaknya. Maka, ada tongkat kuasa, adapula komando. Jadi tongkat dalam ayat tersebut juga berbicara tentang kuasa. Bukan kuasa Musa, bukan kuasa dari tongkat itu saja, tetapi tongkat ini adalah lambang dari kekuasaan Allah. Kuasa Allah itulah yang dipakai oleh Musa. Angkatlah tongkatmu, maka tongkat berbicara tentang kuasa Allah. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa Amsal tersebut juga berbicara tentang pimpinan Kuasa Allah untuk kita dalam mendidik anak-anak kita . Yesus berkata dalam Kisah 1:8: "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu...". Maka jelaslah bagi kita dalam mendidik-pun anak-anak kita perlu pimpinan Roh Kudus sebagai kekuatan, ini adalah kuasa yang Tuhan berikan kepada kita.


RUMAH SEBAGAI AJANG PELATIHAN :

Para orang-tua sebaiknya menempatkan rumah sebagai ajang pelatihan dengan mengikuti materi dan prinsip-prinsip Alkitab sebagai berikut :
Amsal 29:17 "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu"
Amsal 22:6 "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu."

Mendidik anak-anak pada masa kanak-kanak tentu saja berbeda dengan mendidik mereka ketika beranjak dewasa. Saya ingat sekali ibu saya pernah mengeluh, "lebih mudah berbicara denganmu ketika kamu masih 8 tahun". Ketika memasuki usia remaja, saya bukanlah orang yang gampang nurut nasehat dan anjuran orang-tua. Saya yakin hal inipun dialami oleh banyak orang-tua. Meski demikian, saya bersyukur sudah dibekali orang-tua dengan pengajaran Kristus sejak kecil. Hal itu telah menjadi dasar karakter, kepercayaan dan tanggung-jawab ketika memasuki usia remaja dan dewasa yang mulai ingin coba-coba "against the rule".

Saya percaya banyak orang tua mengalami kesulitan-kesulitan memberikan nasehat saat anak memasuki masa-masa puber menuju ke kedewasaan. Begitu banyak anak-anak remaja yang tiba-tiba membenci orang tuanya tanpa alasan yang jelas. Gejolak hormonal mereka mempengaruhi perilaku mereka. Kadang banyak orang-tua yang tidak sabar menghadapi hal ini. Dan kemudian balik memarahi, dan kemarahan orang-tuanya itu justru menjadi menjadi semacam pemicu pemberontakan mereka. Maka tidak jarang terjadi "dead lock" hubungan antara anak dengan orang tua ataupun gurunya. Tetapi Tuhan memberikan otoritas kepada orang-tua untuk tetap mendidik anak-anaknya ketika memasuki masa-mudanya. Orang-tua tetap bertanggung jawab untuk mendisiplin anak-anaknya (Efesus 6:4, Amsal 22:6). Cara/ metode apakah yang terbaik?


METODE TUHAN YESUS :

Bagaimana seharusnya kita sebagai orangtua maupun guru secara umum menanamkan disiplin dalam diri anak-anak. Kapan kita dapat menggunakan "tongkat" yang berfungsi sebagai "command" dengan ketegasan kapan kita harus menggunakan kata-kata yang lemah lembut. Bagaimana mendidik dan mendisiplinkan anak dengan cara Alkitab? Dalam Matius 11:28-30 Tuhan Yesus memberi pengajaran yang luar biasa, sebuah pengajaran yang sangat sejuk, tanpa paksaan dan kekerasan : "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."

Cara Yesus mengajar ini sangat sederhana; pertama : datang kepadaKu, kedua : Aku memasang kuk (beban), yang ketiga : belajarlah kepadaKu. Metode ini dapat pula menjadi cara kita dalam mendidik anak-anak. Pertama : sebagai orang-tua/ guru kita harus menjadi pribadi yang akrap kepada anak-anak, sehingga anak-anak tidak canggung, tidak sungkan, tidak takut untuk datang kepada orangtuanya sebagai sandaran yang memberikan mereka keamanan dan kelegaan. Yang kedua : Orang tua harus menanamkan tanggung-jawab kepada anak sejak awal akan tugas-tugas (beban/kuk) mereka sebagai umat Allah, bahwa beban yang mereka pikul bukanlah beban yang memberatkan, tetapi suatu tugas yang mulia. Dan yang ketiga : Belajarlah kepadaku, yang berarti orang tua harus menjadi panutan bagi anak-anak. Bahwa orangtua harus menjadi pribadi yang patut dicontoh seperti Tuhan Yesus yang lemah-lembut dan rendah-hati. Ketika orang-tua berhasil menjadi tokoh panutan bagi anak-anaknya, hal ini akan memudahkan orang-tua itu mengarahkan anak-anaknya menjadi pribadi yang diharapkannya.

Ghandi adalah seorang tokoh besar dalam sejarah, dengan terang-terangan mengaku bahwa perjuangan yang dia lakukan ter-inspirasi oleh pengajaran cinta-kasih sebagai sari pengajaran Yesus dalam Khotbah diatas Bukit. Maka Gandhi melakukan perjuangannya yang kita kenal gerakan ahimsa dan swadesi, sebuah gerakan anti kekerasan yang terilhami oleh tokoh yang dia kagumi yaitu Yesus Kristus. Meski Gandhi menolak disebut "beragama Kristen" tetapi dia tidak menolak disebut sebagai "seorang Kristen" karena dia adalah seorang penganut ajaran Yesus Kristus. Metode Yesus telah dicontoh oleh Gandhi, kemudian Gandhi menjadi guru dan teladan bagi rakyat India untuk berjuang dalam kemerdekaan India dengan tanpa kekerasan, kesuksesannya sudah terbukti. Maka, kitapun bisa memandang hal tersebut sebagai sebuah inspirasi yang memotivasi kita menjadi teladan yang patut dicontoh anak-anak kita. Bahwa kita selalu memegang sebuah amanat, masa depan anak-anak kita tergantung dari bekal pendidikan dan pembentukan karakter yang kita bina sejak awal.


Selamat mengajar dan menjadi teladan. 

from:SarapanPagi Biblika 2012